Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memaparkan kisah perdamaian di
Aceh di hadapan para peserta forum "Advancing humanitarian action;
engaging with rising global actors to develop new strategi dialogue and
partnerships" di Istanbul, Turki, Senin waktu setempat. Dalam forum
tersebut, JK hadir dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Palang Merah
Indonesia (PMI) dan berbicara di hadapan para aktivis kemanusiaan dari
berbagai belahan dunia, di antaranya Jerman, Turki, Swiss, Kuwait,
Afrika Selatan, Lebanon, Arab Saudi, Brazil, Rusia, serta badan badan
PBB yang fokus pada masalah kemanusiaan seperti UNHCR.
JK memaparkan, program kemanusiaan yang kini banyak dilakukan di
berbagai daerah bencana dan konflik, hendaknya dapat mendorong
terciptanya perdamaian. Sebab, tanpa memanfaatkan cara tersebut, konflik
dan bencana akan berkepanjangan dan membuat aksi kemanusiaan itu tanpa
ujung.
Menurut JK, dirinya prihatin menyaksikan tayangan di jaringan televisi CNN ketika ribuan orang Syiria hidup di kamp kamp pengungsian. Padahal, terdapat banyak lembaga lembaga kemanusiaan yang bekerja di sana. Namun mereka tidak berupaya memparalelkan antara pelaksanaan program bantuan kemanusiaan dengan penegakan perdamaian.
"Hal yang semacam inilah yang membuat program bantuan tidak efektif dan para pengungsi akan terus terjebak dalam situasi konflik serta membutuhkan bantuan yang besar tanpa henti," kata JK, seperti termuat dalam keterangan tertulis yang diterima Okezone, Selasa (22/10/2013).
JK lalu menceritakan pengalaman pemerintah Indonesia ketika menghadapi tsunami di Aceh yang menelan korban jiwa yang amat luar biasa, mencapai 200 ribu jiwa. Ketika itu, dibutuhkan peran dari sebuah organisasi pemerintahan yang kuat dan mampu mengkosolidasikan semua potensi, baik dari dalam maupun luar negeri, serta bekerja secara transparan dan akuntabel.
"Aceh membutuhkan bantuan kedaruratan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Tetapi, rekonstruksi hanya bisa berjalan dengan baik, jika kondisi di Aceh aman atau stabil. Tanpa keamanan akan sulit bagi pemerintah Indonesia melakukan rekonstruksi," papar JK yang juga didampingi tokoh perdamaian Aceh Hamid Awaludin.
Dengan argumentasi tersebut, maka menurut JK, pemerintah meyakinkan semua pihak terutama kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bahwa hanya dengan jalan perdamaian, tahapan pemulihan kondisi di Aceh, terutama rekonstruksi, dapat dicapai. Akhirnya semua pihak bisa menerima argumentasi tersebut sehingga dalam tempo enam bulan setelah proses bantuan kedaruratan dan rehabilitasi tsunami Aceh, yakni pada 15 Agustus 2005, berhasil dicapai kesepakatan Helsinki yang menandai penegakan perdamaian di Aceh.
"Program bantuan kemanusiaan dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan perdamaian. Dan terciptanya perdamaian secara efektif dapat menghentikan program bantuan kemanusiaan," tuturnya.
Tetapi, kata Jusuf Kalla, semua akan berjalan dengan baik dengan pengkajian yang tepat, terbuka, khususnya kepada media. Dan yang tidak kalah penting adalah bantuan terkelola secara akuntabel.
"Pengalaman kami di Aceh, selama dua hari setelah tsunami, dunia hanya mengetahui peristiwa yang terjadi di Thailand, karena sebelumnya Pemerintah RI membatasi kehadiran media, mengingat status Aceh yang masih dilanda konflik. Setelah kami terbuka kepada media, barulah CNN dan media media asing lainnya berdatangan memberitakan sehingga tsunami Aceh akhirnya mengundang perhatian internasional," pungkasnya.
(Lamtiur Kristin Natalia Malau)
Sumber : Okezone
Menurut JK, dirinya prihatin menyaksikan tayangan di jaringan televisi CNN ketika ribuan orang Syiria hidup di kamp kamp pengungsian. Padahal, terdapat banyak lembaga lembaga kemanusiaan yang bekerja di sana. Namun mereka tidak berupaya memparalelkan antara pelaksanaan program bantuan kemanusiaan dengan penegakan perdamaian.
"Hal yang semacam inilah yang membuat program bantuan tidak efektif dan para pengungsi akan terus terjebak dalam situasi konflik serta membutuhkan bantuan yang besar tanpa henti," kata JK, seperti termuat dalam keterangan tertulis yang diterima Okezone, Selasa (22/10/2013).
JK lalu menceritakan pengalaman pemerintah Indonesia ketika menghadapi tsunami di Aceh yang menelan korban jiwa yang amat luar biasa, mencapai 200 ribu jiwa. Ketika itu, dibutuhkan peran dari sebuah organisasi pemerintahan yang kuat dan mampu mengkosolidasikan semua potensi, baik dari dalam maupun luar negeri, serta bekerja secara transparan dan akuntabel.
"Aceh membutuhkan bantuan kedaruratan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Tetapi, rekonstruksi hanya bisa berjalan dengan baik, jika kondisi di Aceh aman atau stabil. Tanpa keamanan akan sulit bagi pemerintah Indonesia melakukan rekonstruksi," papar JK yang juga didampingi tokoh perdamaian Aceh Hamid Awaludin.
Dengan argumentasi tersebut, maka menurut JK, pemerintah meyakinkan semua pihak terutama kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bahwa hanya dengan jalan perdamaian, tahapan pemulihan kondisi di Aceh, terutama rekonstruksi, dapat dicapai. Akhirnya semua pihak bisa menerima argumentasi tersebut sehingga dalam tempo enam bulan setelah proses bantuan kedaruratan dan rehabilitasi tsunami Aceh, yakni pada 15 Agustus 2005, berhasil dicapai kesepakatan Helsinki yang menandai penegakan perdamaian di Aceh.
"Program bantuan kemanusiaan dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan perdamaian. Dan terciptanya perdamaian secara efektif dapat menghentikan program bantuan kemanusiaan," tuturnya.
Tetapi, kata Jusuf Kalla, semua akan berjalan dengan baik dengan pengkajian yang tepat, terbuka, khususnya kepada media. Dan yang tidak kalah penting adalah bantuan terkelola secara akuntabel.
"Pengalaman kami di Aceh, selama dua hari setelah tsunami, dunia hanya mengetahui peristiwa yang terjadi di Thailand, karena sebelumnya Pemerintah RI membatasi kehadiran media, mengingat status Aceh yang masih dilanda konflik. Setelah kami terbuka kepada media, barulah CNN dan media media asing lainnya berdatangan memberitakan sehingga tsunami Aceh akhirnya mengundang perhatian internasional," pungkasnya.
(Lamtiur Kristin Natalia Malau)
Sumber : Okezone