Kelahiran
Syaikh Muda Waly al Khalidy
dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh
Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syaikh H.
Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar,
Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya,
paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan
Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul Karim telah lebih dahulu
menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap
di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama
Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud
yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda
Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat
menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja
beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong
oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa
suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada
saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan
purnama turun kedalam pangkuannya.
Nama Syeikh Muda Waly pada waktu
kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat,
beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku
Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan
Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri
dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly
Al-Khalidy.
Perjalanan Pendidikan
Syaikh Muda Waly belajar belajar
A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,dan dasar ilmu
bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah
Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks
School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji,
Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali
yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari
Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang
4 tahun beliau belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh
ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie.
Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren
al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari
Aceh Besar yaitu Syaikh Mahmud. Di Pesantren Bustanul Huda, barulah
beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah
seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh, Alfiyah
dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.
Setelah beberapa tahun di
Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan
gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara beliau
dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah
shalat di dalam masjid secara jihar. Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan
pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah
beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta
do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang
terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda
pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan
ayahnya meminta ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak
menjawabnya. Pada akhirnya kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali
dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah. Kejadian ini berawal dari
kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum muda dari
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi,
mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan
membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka
di Ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya
sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal
Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku
Sufi tersebut dengan Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau
tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total
didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud mema`afkan
kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengannya pada
waktu masih belajar di Bustanul Huda.
Setelah beberapa tahun belajar
di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan
pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syaikh H.
Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau.
Apalagi Syaikh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini
telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul
Huda.
Sebagai bekal dalam perjalanan
beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas
yang lain merupakan milik kakak kandung Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi
Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke
kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata
“Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di
Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syaikh Muda
Waly “biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang
ketiga ini Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau
seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu.
Syaikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang
juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku
Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca
kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.
Sesampainya di Banda Aceh,
beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh
Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syaikh H. Marhaban, Menteri
Muda Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren
Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syaikh Hasan Krueng Kale sedang
mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab
Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum
Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah
selesai pengajian Syaikh Muda Waly merasa bahwa syarahan yang diberikan
oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau
miliki. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syaikh Hasan Krueng
Kale sebagai guru beliau. Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah sebagai bukti
kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syaikh Mahmud
Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh Muda
Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku
Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun
berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu
Syaikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri.
Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat
dan lainnya. Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau
tentang ilmu al-Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk
memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem
belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu.
Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang
membacakan kitab-kitan kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan dan
mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau
meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan
murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang
kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut
mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren
untuk mempersiapakan asrama temapat tinggal untuk beliau, kebetulan
sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah
habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut
beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.
Pimpinan Pesantren Indrapuri
tersebut, Teungku Syaikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat
Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut.
Semenjak saat itu Syaikh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa
mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan
untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam
sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk
mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena
padatnya jadwal, beliau kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun
demikian beliau tidak sakit.
Setelah sekian lamanya di
Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin
masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng kepada Syaikh Muda Waly
untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang
didirikan oleh seorang ulama tamatan al-Azhar Mesir Ustad Mahmud Yunus.
Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syaikh Muda Waly,
timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar
Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama
yang telah menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo,
Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah
perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal
kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra
Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syaikh Muda Waly ke
pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum
melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah
Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut.Beliau sama
sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak
Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada
seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak
gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia membantu Syaikh Muda
Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.
Setelah sampai di Normal Islam
beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga
bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan
keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau
lakukan dengan beberapa alasan :
1. Cita-cita
melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan
tujuan memperdalm ilmu agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan
beliau menjadi seorang ulama sperti ulama ulam besar lainnya.Tetapi
rupanya ilmu agama yangdiajarkan di normal Islam amat sedikit.Sehingga
seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan
ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2. Di
Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran
agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu
falak, sejarah Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan
pelajaran olahraga.
Di Normal
Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di
lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana,
memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum
diatas. Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau begini lebih baik beliau
pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau
miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.
Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.
Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.
Pada suatu sore beliau mampir
untuk berjamaah maghrib di sebuah Surau yaitu di Surau Kampung Jao.
Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan
seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para
jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di
sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau
membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para
hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan
membetulkan pendapat ustaz itu.
Akhirnya para jamaah beserta
ustaz tersebut meminta beliau supaya datang ke Surau itu untuk menjadi
imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari,
beliau mulai dikenal dari satu Surau ke Surau yang lain dan dari satu
Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang Padang, tetapi
dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat Islam
Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau
dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu
beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.
Pada masa itu pula sedang
hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan
yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam
memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al-Fitri dan lain lain. Terjadilah
perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.
Syaikh Muda Waly berasal dari
Aceh dalam kelahiran dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam
semua masalah tersebut seperti pendirian para Ulama Aceh sejak zaman
dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya dalam bidang Syari’at dan Fiqh
Islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi
Ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul
Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh
Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i dan
antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari``at dan Fiqh Islam
kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan
sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam
yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.
Karena itulah maka semua
masalah-masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syaikh Muda Waly
dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al Qur’an dan Hadist dan juga
dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota
Padang dan mulai dikenal pula oleh seorang Ulama besar di kota Padang,
yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H. Amura. Syeikh
Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Padang. Murid
dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat
ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah
Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah
al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena
kegigihannya mempertankan `Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan
mazhab Syafi`i di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar
dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad
Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syaikh muda Waly
sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang family
beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof.
Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin
meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam
kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga
mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang
tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.
Kemudian Syaikh Muda waly juga
berkenalan dengan Syaikh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti
pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan
beliau dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan
murid. Syaikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syaikh
Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama
dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh Muhammad Jamil
Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan
Syaikh Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh
Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh
Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut
dapat dijawab oleh Syaikh Muda Waly. Dari situlah, Syaikh Muda Waly
semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh Muda
Waly dinikahkan dengan putri Syaikh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan
seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan
Syaikh H. Mawardi Waly. Syaikh Muda Waly menempati rumah pemberian
paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari
dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah dan
tempat majlis ta`lim.
Apabila datang hari hari besar
Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut.
Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut
karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly sibuk mengajar dan
berdiskusi dengan para ulama lainnya apalagi dalam rumah itu juga
tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan Basri, menantu dari
Syaikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari
istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan
ibadah haji ke tanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah
rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan
kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan
waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di
Masjidil Haram antara lain Syaikh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.
Selama di Makkah Syaikh Muda
Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar
keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah
al-Mukarramah.
Pada waktu Syaikh Muda Waly
berada di Madinah pada setiap saat shalat, beliau selalu menziarahi
kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja
yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi
dengan tongkatnya. Tetapi pada saat Syaikh Muda Waly sedang bermunujat
dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul
beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut
dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan
beliau dan membiarkan beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di
Madinah Syaikh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri
lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju
ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri
beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang
ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.
Selama beliau di Makkah ataupun
Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal
ini kemungkinan besar karena dua hal :
1. Karena
beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang
sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali
ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk
menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2. Pada
umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan
thariqat, mengambil ijazah dan berkhalwat harus berada di tanah suci
pada bulan Ramadan. Karena pada bualn Ramadan halaqah pengajian sepi
bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk
beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam
bulan Ramadhan .
Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya. Dikalangan Ulama tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi Ulama dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.
Walaupun Syaikh Muda Waly telah
memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum
memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu
menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki
jalan Tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama
sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan
Syaikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan
Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly
memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra
Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di
Sumatera Barat kala itu yaitu Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary bertempat
di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40
hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadhah dan munajat
berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul
Ghany, beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk
mandi dan berwudhuk.
Setelah selesai berkhalwat
beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi
kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini.
Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syaikh Abdul Ghani sebagai pertanda
bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan Thariqah
Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah beliau
kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama
Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang
terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu
di Pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada
saat Jepang masuk ke Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan pulang
ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam
mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga
akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.
Bersambung...