Pulang ke Aceh
Setelah Syaikh Muda Waly
berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara
lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah
s.w.t., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke
tingkat martabat Ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil
perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati
selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk
mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat
beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama
ini setelah beliau mendirikan Pesantren di desa beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun
1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke
Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli
famili, para teman dan masyarakat Labuhan Haji. Setelah beberapa hari
beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah
pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya
saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada
tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga,
sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan
sebagai tempat ibadah.
Lahan tempat mendirikan Musholla
yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah
mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada
malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan
harinya. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk
betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri
dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang.
Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau
membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga
mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung
santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan
Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga
dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren
itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan,
khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau Sumatra.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut :
Pertama : Darul-Muttaqin,
di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah
sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar
selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat
Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama
ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada
bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin,
dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah
berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra
Hindia
Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syaikh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .
Keempat : Darus Salikin, dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin,
lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau
bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang
mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan
tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la, lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan .
Semua lokasi ini dinamakan oleh
Syaikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga
semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang
senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba yang Zahid,
mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang
shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam
pandangan masyarakat .
Tak lama kemudian beliau menikah
dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau
mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini
merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak, para
pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum yang
berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu
pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas
masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Dipesantren inilah diadakan pengajian
yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh
kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis
ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan
kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya dapat di jawab oleh Syaikh Muda
Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
Pendidikan Pesantren Darussalam
Di pesantren yang beliau bangun
itu Syaikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus
untuk kaum ibu pada hari malam selasa, hari senin, dan malam senin. Pada
malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah
ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur,
setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren
ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi Pesantren yang
belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan
luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan
batu-batu itu semuanya berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya
terdapat di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur
para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan
oleh Syaikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam
tariqat Naqsyabandiyah dan shalat Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum
laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.
Pada setiap bulan Ramadan Syaikh
Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak
sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya Idul Fitri. Ada yang
berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20
hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam
Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10
hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.
Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly terbagi kepada dua :
Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para Ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .
Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.
Syaikh Muda Waly mengamalkan
ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri
muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini
terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang
lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan Shalat Dhuha
belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para
dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami`
dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga
menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari
beliau. Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam
kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat
beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau,
tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini
membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau.
Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang
sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar
beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam
mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari
beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di
Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini
mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau
lahir pulalah Ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya
perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap
ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat
ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab
Syafi’i.
Murid-murid Beliau :
1. al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen.
2. al-Marhum
Tgk. H. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra
(Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3. al-Marhum Tgk. H. Muhammad Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4. Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen.
5. Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren Safinatussalamah, Medan.
7. Teungku Adnan Mahmud pendiri Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8. al-Marhum. Tgk. H. Syaikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale) mantan Menteri Muda era Sukarno.
9. al-MarhumTgk. H. Muhammad Isa Peudada, Bireuen.
10. al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11. al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh Barat.
12. al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13. Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14. al-Marhum Syaikh Jailani.
15. al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16. al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17. Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara.
18. Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19. Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20. Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21. Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22. Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23. Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu. Aceh Utara.
25. Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27. Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28. Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.
Karya Beliau
1. al-Fatwa,
Sebuah kitab dalam bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi
kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama.
2. Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah.
3. Risalah Adab Zikir Ismuz Zat.
4. Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5. Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam
risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang
perdebatan Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka, beliau
menyebutkan :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Syaikh
Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi
beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan
keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus
1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi
sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18
Zulqa`dah 1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa
dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan
berperang menetang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila
mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid. Disamping itu
juga diterangkan pula hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta
untuk menolong agama Allah dan menolong negara yang sah. Fatwa itu
disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda Aceh yang
tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda
Republic Indonesia.
Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly
di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui pengajian-pengajian
dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan
tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak
diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang Ulama muda
yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin
oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari Sumatra
Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua
laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan
mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah..
Peristiwa Berdarah di Aceh
Dalam mempertahankan keutuhan
negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat penting. Pada
tanggal 13 Muharram 1373 / 21 september 1953 meletuslah peristwa
berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad
Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan
mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly tidak bergabung dalam
PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah
terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.
Dalam hal ini para Ulama besar
di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syaikh Muda waly, Syaikh
Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit
Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka
mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal yang dikaitkan
dengan agama tetapi hanyalah hal yang dikaitkan dengan dunia semata.
oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk
pemberontakan tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama
tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama
PERTI. Teungku Syaikh Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam
suatu rapat umum di Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut dan
beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. Para
Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor pemberontakan
tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama
besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa
harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah
diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor pada tahun 1957 untuk
menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan
Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan
para ulama dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden
Sukarno itu Presiden yang sah dengan prediket Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.
Wafat Beliau
Setelah berjuang demi tegaknya
agama ini, akhirnya Syaikh Muda Waly kembali kehadapan Allah pada
tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari
selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh Ulama dan murid-murid beliau
serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji,
karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh selatan.
Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin.
Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra
beliau secara bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh
Jamaluddin Waly, Syaikh Mawardi Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan
Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra
beliau menjadi Ulama-ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam
mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra-putranya
menjadi Ulama-ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal
Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang
ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah
keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat
ini antara lain :
1. Pesantren
LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu
Mudi)murid dari Syaikh Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI
MESRA sebelumnya)
2. Pesantren
Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh
Syaikh H.Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3. Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
4. Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu Daud(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
5. Pesantren
Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh
Tgk. H. Usman Kuta Krueng (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6. Pesantren
Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali,
putra Syaikh Abdullah Hanafiah (murid Syaikh Muda waly dan pimpinan
Pesantren tersebut sebelumnya)
7. Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
8. Pesantren
Darul Huda, Paloh Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa
Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9. Pesantren
Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban
Adnan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud
Bakongan)
10. Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11. Pesantren
Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat, dipimpin oleh Syaikh Muhammad
Nasir L.c (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syaikh Muda
waly)
12. Bahrul
Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya, dipimpin oleh Tgk. H.
Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh Ibrahim Lamno (murid
Syaikh Abdul `Aziz, Samalanga)
13. Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid Syaikh Ibrahim Lamno)
Kesemua
Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian
keilmuan dengan Syaikh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh
Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya
Muda Waly, seorang Ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham
Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang
bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah
menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga Allah melahirkan
Syaikh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam
umumnya. Amin ya Rabbal’alamin.