Saya terperanjat dengan klaim orang
Aceh yang bawa Islam ke daerah seribu raja ini. Jika yang dimaksud
Islam di Nusantara bersumber dari Aceh, tidak diragukan lagi. Boleh
jadi, penjemput itu ingin menyenangkan saya atau memang itu sumber yang
shahih yang tidak saya tahu. Saya menyakini, Islam di Maluku berasal
dari Makassar, Jawa Timur atau langsung dari jazirah Arab yang menyebar
melalui jalur perniagaan. Penuturan bapak setengaha abad ini perihal
Ambon Manise membongkar memori saya pada konflik Aceh. Pasalnya, apa
yang terjadi di negeri seribu pulau (Ambon) telah terjadi di negeri
seribu konflik (Aceh). Misalnya, tumpukan karung pasir bertamburan di
depan-depan pos militer atau barikade dari drum aspal, kayu, batu di
jalan-jalan dipasang di jalan negara.
Menginjak kaki di Ambon, maka
terpencarlah serpihan-serpihan daerah bekas konflik sosial. Beberapa
gedung pemerintah yang dibakar baik oleh umat Islam atau Nasrani
dibiarkan teronggok. Di seputar Simpang Trikora ? tempat favorit berdemo
seperti di Simpang Limong Banda Aceh- saya menyaksikan dinding sebuah
toko berlantai tiga penuh dengan bekas tembakan. Inilah tragedi
kemanusiaan terbesar di Indonesia yang menyebabkan paling kurang sekitar
6 ribu orang Islam atau Nasrani terbunuh atau dibunuh. Pela Gandong
yang menjadi benteng berpuluh tahun hancur berkeping-keping karena
mahirnya provokator yang dikendalikan dari Jakarta.
Raja Aceh Dibuang ke Maluku
Konflik yang membara pada 19 Januari
1999 dianggap selesai pasca diadakan dialog antara umat Islam Vs umat
Nasrani. Perjanjian yang diprakasai oleh Jusuf Kalla ini disebut
Perjanjian Malino II yang diadakan pada 11-12 Februari 2002 di kawasan
dingin Malino Sulawesi Selatan. Proses menuju damai terus berlanjut
hingga kondusif pada tahun 2004. Pada akhirnya, warga yang berbeda agama
itu sadar kalau selama ini mereka menjadi korban adu domba. Sepintas
lalu, proses damai ini mengingatkan pada aksi Jusuf Kalla yang berperan
besar mengiring RI-GAM ke meja perundingan di Helsinki pada 15 Agustus
2005.
Menulusri kota Ambon, ada beberapa hal
yang lumrah terjadi di Aceh. Misalnya, kebiasaan minum kopi di kedai
kupi yang disebut rumah kopi. Pasca kerusuhan yang saling membantai
sesama manusia, rumah kopi menjadi salah satu wadah pertemuan informal
antara umat Islam dan Nasrani. Mereka yang dulu bertetangga, tiba-tiba
bisa asah parang tanpa sebab jelas, maka tegur sapa diayunkan sambil
meneguk beberapa cangkir kopi di rumah kopi. Dari segi karakter, orang
Maluku sama keras dengan orang Aceh. Menghadapi watak ini dengan sikap
tegas oleh para pemimpin. Mungkin karena pertimbangan itu, Kapolri
menetapkan Kapolda Ambon Adityawarman (2004-2006) menjadi Kapolda Aceh
yang sudah terlatih menghadapi watak penduduk yang sama-sama keras dan
baru usai konflik horizontal (di Ambon) dan konflik vertikal (di Aceh).
Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939)
bersama iterinya Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul
Majid,anaknya Tuanku Raja Ibrahim,Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin,
Tuanku Johan Lampaseh,Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak
Abas dibuang ke Ambon, Maluku pada 24 Desember 1907 dan pada tahun 1918
diungsikan ke Batavia (Jakarta) karena terlalu dekat dengan orang
Bugis di Maluku. Kemudian dia mangkat pada 6 Februari 1939 di sana dan
dikebumikn di pekuburan rakyat Rawamangun Jakarta. Kondisi kuburan
tersebut tidak memperlihatkan makam raja Aceh layaknya makam raja-raja
yang terawat bersih dan diketahui oleh masyarakat.
Muhammad Kasim Arifin
Jejak selanjutnya orang Aceh yang
?membuang? diri ke Maluku yakni Muhammad Kasim Arifin (alm). Putra Aceh
Timur mengabdi di Waimital bagian selatan Pulau Seram Maluku selama 15
tahun. Saya ingat kala menjadi mahasiswa beliau di Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1990-an yakni disela-sela
memberi kuliah, dia memperlihatkan papan nama Jalan Kasim Arifin di
Waimital. Kisah pengabdian yang mengharu ini diawali ketika Kasim yang
mahasiswa IPB Bogor pada tahun 1964 menjalani program “Pengerahan
Tenaga Mahasiswa” (seperti Kuliah Kerja Nyata ) selama beberapa bulan
dengan tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani. Kasim jatuh cinta
dengan daerah itu dan lupa pulang kalau dia masih berstatus mahasiswa.
Kasim yang cerdas, hidup sederhana dan lain-lain menikmati kerja di
sana hingga dia disapa Antua, sebutan bagi yang dihormati di Maluku..
Saya melacak langkah-langkah orang
Aceh yang berpengaruh di Maluku baik di masa lalu atau sekarang.
Tersebutlah nama Dr. Abdul Gafur bin Tengku Idris. Pada tahun 1980-an,
rakyat Aceh bertanya-tanya mengapa Gafur yang dikenal dari Maluku bisa
membawa nama Aceh dalam kampanye politik di Aceh. Kala itu, mantan
Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada masa Kabinet Pembangunan IV
menyebutkan dirinya juga orang Aceh. Ayahnya Teungku Idris adalah
seorang pejuang yang dibuang oleh Belanda ke Maluku. Agaknya, dia bisa
pakai dua kaki tergantung kepentingan. Nama juga politikus.
Kata Ambon terus bersemedia di Aceh.
Ada pria keturunan Ambon yang lebih populer dengan sebutan Bram Aceh.
Kala itu ayahanya menjadi tentara Belanda di Banda Aceh. Bram Aceh
adalah penyanyi keroncong terkenal yang lahir di Aceh pada 4 Maret 1913
dan meninggal dunia di Jakarta pada 8 Mei 2001. Bram Aceh merupakan
kakek penyanyi masyhur yaitu Harvey Malaiholo
Nama-nama berbau Maluku tak pernah
padam di Aceh. Ketika membezuk kuburan Kerkhof di Banda Aceh, di antara
1.200 kerangka serdadu Belanda termasuk pasukan elit Marsose di sana,
terdapat ratusan nama-nama yang lazim dipakai di Maluku, Jawa, Menado
dan lain-lain yang dikirm ke Aceh dengan ujung bayonet untuk memburu
pejuang Aceh.
Oleh Murizal Hamzah, houseofaceh.org - http://kuartil.wordpress.com
No comments:
Post a Comment